Tulisan ini akan mengidentifikasi dan membahas berbagai isu ekonomi politik internasional (international political economy) dan keamanan global (global security)
serta isu-isu tradisional hubungan internasional seperti perang-damai
dan konflik-kerjasama yang merefleksikan cara pandang hubungan
internasional yang bias gender.
Sebagai suatu isu baru, gender pada awalnya tidak menjadi isu inti
dalam studi hubungan internasional. Beberapa teoritisi hubungan
internasional berargumen bahwa karena disiplin hubungan internasional
muncul pada periode Perang Dunia pertama maka studi HI lebih menekankan
pada isu perang dan damai sehingga ”melupakan” isu gender. Namun argumen
tersebut seakan runtuh ketika studi-studi feminis hubungan
internasional berhasil mengidentifikasi eksistensi berbagai gerakan
perempuan pada masa itu yang secara signifikan mempengaruhi kebijakan
luar negeri pemerintahnya.
Terkait dengan hal ini, dalam kajiannya tentang kemunculan gender
sebagai isu baru dalam hubungan internasional, Jackson dan Sorensen
berargumen bahwa studi hubungan internasional yang muncul dengan tujuan
untuk memajukan kerjasama dan perdamaian internasional ternyata belum
memberikan perhatian pada pergerakan perempuan bagi perdamaian dan
kerjasama saat itu. Dalam buku tersebut, mereka mengambil contoh
berbagai studi feminis hubungan internasional.
Studi oleh Amy Swerdlow misalnya berhasil menguak bahwa demonstrasi
para wanita di Amerika Serikat pada tahun 1960an sedikit banyak
berkontribusi dalam mempengaruhi kebijakan Presiden Kennedy dalam
perjanjian pengendalian senjata nuklir dengan Uni Soviet. Selain itu,
Cynthia Enloe juga melihat bahwa penarikan dukungan ibu-ibu bangsa Rusia
untuk tentara Soviet pada perang Afganistan telah membantu mengakhiri
Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Oleh karena itu
para feminis hubungan internasional berargumen bahwa perang-perdamaian
dan konflik-kerjasama sesungguhnya adalah aktivitas gender (gendered
activity).
Minimnya perhatian terhadap perspektif gender dalam memahami hubungan
internasional juga terjadi karena para teoritisi hubungan internasional
tidak hirau terhadap isu-isu pembangunan. Menurut Anna Dickson di dalam
sebuah tulisannya tentang relasi antara pembangunan dan hubungan
internasional, hal ini disebabkan karena mereka menganggap pembangunan
sebagai isu domestik dan termasuk kategori low politics.
Selain itu, hubungan internasional saat itu bukanlah ilmu yang hirau
dengan normative questions yaitu pertanyaan-pertanyaan yang terkait
dengan standar moral, sehingga isu-isu keadilan internasional,
distribusi sumber daya antar negara dan persoalan kemiskinan dunia tidak
menjadi perhatian. Akibatnya, perspektif gender kerap dilupakan dalam
melihat persoalan pembangunan, khususnya terkait dengan aktivitas
ekonomi politik internasional yang juga merupakan aktivitas gender.
Padahal menurut Enloe, perdagangan internasional dan pasar global
sebagai salah satu bentuk aktivitas hubungan internasional secara
inheren telah menjadi arena bagi gender formation dan gender politics.
Senada dengan Enloe, Connell juga mengakui adanya sebuah ”world
gender order” dalam hubungan internasional yang berakar pada tradisi
budaya Eropa-Amerika, yaitu struktur relasi yang ”interconnect the
gender regimes of institution and the gender orders of local society on a
world scale.” Kedua pendapat tersebut menunjukkan bahwa hubungan
internasional telah menjadi ajang pertarungan bagi penciptaan suatu
aturan gender yang homogen baik di level institusi maupun masyarakat.
Akibatnya, aturan main dalam sistem ekonomi dan politik internasional
yang dimanifestasikan dalam kebijakan pembangunan seringkali tidak
memperhatikan kondisi dan kebutuhan perempuan.
Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya dorongan arus
globalisasi yang tidak jarang menimbulkan ekploitasi terhadap perempuan
sehingga posisi perempuan semakin termarginalisasi. Perempuan lebih
banyak menderita kerugian daripada memperoleh keuntungan dari proses
tersebut. Dengan kata lain, perempuan dan relasinya dengan laki-laki
menerima implikasi yang luar biasa dari kebijakan pembangunan sebagai
bagian dari sistem ekonomi dan politik internasional.
Implikasi gender dari kebijakan ekonomi pembangunan yang bersifat
transnasional dan globalisasi terlihat dalam beberapa isu penting dalam
hubungan internasional. Penerapan kebijakan restrukturisasi ekonomi
global sebagai bentuk baru neoliberalisme merupakan salah satu isu
hubungan internasional yang memiliki implikasi sosial ekonomi yang
serius bagi kalangan perempuan.
Restrukturisasi ekonomi global yang dimulai sejak tahun 1970an
menyebabkan feminisasi tenaga kerja dimana komposisi tenaga kerja
didominasi oleh perempuan. Kondisi ini terlihat dalam studi yang
dilakukan oleh Guy Standing bahwa selama rentang waktu 20 tahun
(1975-1995) telah terjadi peningkatan partisipasi tenaga kerja perempuan
sebanyak 65 persen di banyak negara industri maju dan 51 persen di
negara-negara berkembang. Hal ini terjadi karena kebijakan
restrukturisasi, misalnya yang terjadi pada tahun 1973 akibat krisis
minyak, menuntut banyak perusahaan untuk mensubkontrakkan aktivitas
produksinya ke berbagai negara. Akibatnya sejumlah perusahaan
transnasional memindahkan proses produksinya yang berbasis pada tenaga
kerja ke negara-negara berkembang yang menyediakan banyak buruh
perempuan.
Feminisasi tenaga kerja oleh berbagai perusahaan industri batubara
dan baja ini terjadi karena melimpahnya jumlah buruh perempuan dan
mereka bersedia untuk dibayar murah. Selain itu, mempekerjakan buruh
perempuan dianggap lebih aman daripada buruh laki-laki. Hal ini
dikarenakan dalam konteks tahun 1970an buruh perempuan juga cenderung
memiliki potensi radikalisme yang rendah dibandingkan buruh laki-laki.
Fenomena feminisasi tenaga kerja akibat restrukturisasi ekonomi masih
terjadi pada era 1980-1990an meski dengan karakteristik yang sedikit
berbeda. Pesatnya perkembangan industri teknologi dan informasi pada
periode tersebut telah mendorong banyak perusahaan untuk berinvestasi di
bidang ini, diantaranya pada industri elektronika, garmen, mainan
anak-anak dan makanan. Akibatnya, perusahaan kembali membutuhkan buruh
perempuan sebagai tenaga kerja di industri ini.
Selain karena alasan yang sama yaitu rendahnya upah mereka,
perusahaan memilih buruh perempuan karena mereka dianggap memiliki
”natural dexterity” dan ”nimble fingers” yang sangat dibutuhkan untuk
tipe pekerjaan di bidang tersebut. Kedua istilah tersebut mengacu pada
kemampuan ketrampilan bekerja perempuan, misal pekerjaan yang sifatnya
repetitif, yang diperoleh dalam keluarga dan dianggap sebagai suatu hal
yang alami. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa terdapat kaitan erat
antara kebijakan restrukturisasi ekonomi global dengan persoalan
pemenuhan hak-hak perempuan buruh migran di negara-negara berkembang.
Selain mengalami persoalan upah buruh yang rendah, pada tahun 1980-an
banyak negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin masih terbelit oleh
masalah ekonomi makro seperti defisitnya neraca pembayaran, tingginya
tingkat inflasi dan rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Berbagai
persoalan tersebut pada akhirnya menghadapkan mereka pada ketiadaan
pilihan kebijakan selain meminta bantuan keuangan (financial aid) dari
lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Padahal
kebijakan kedua lembaga tersebut seringkali, menurut Diane Elson, tidak
memperhatikan sensitivitas gender dan mengarah pada male bias. Kebijakan
stabilisasi dan structural adjustment yang diformulasikan dengan dasar
analisis ekonomi makro, misalnya, lebih melihat ekonomi secara umum dan
tidak mencermati kondisi ekonomi di tingkat individu atau rumah tangga.
Sebuah studi UNDP tentang dimensi sosial kebijakan structural
adjustment di negara-negara Afrika sub-Sahara mengungkap bahwa kebijakan
tersebut mengarah pada terciptanya ketidakseimbangan distribusi beban
antara laki-laki dan perempuan yang akhirnya dapat menghambat proses
pembangunan yang berkelanjutan. Jacqui True juga menemukan bahwa
kebijakan structural adjustment di negara-negara Selatan dan kebijakan
restrukturisasi di negara-negara Utara yang didorong oleh globalisasi
ekonomi telah mengakibatkan feminisasi kemiskinan, yaitu profil
kemiskinan yang melanda sebagian besar perempuan.
Fakta akan meluasnya kemiskinan dan keterpurukan ekonomi di kalangan
masyarakat, khususnya perempuan, di sisi lain telah mendorong munculnya
berbagai kebijakan ekonomi yang hirau pada pemberdayaan ekonomi
masyarakat. Salah satunya contohnya adalah kebijakan pemberian kredit
usaha kecil (microfinance atau microcredit) tanpa syarat kepada kelompok
masyarakat di Bangladesh yang digagas oleh Mohammad Yunus. Ide yang
telah berhasil menghantarkan Yunus memperoleh hadiah Nobel pada tahun
2006 tersebut berawal dari keprihatinannya akan kemiskinan yang terjadi
di masyarakat sekitarnya. Dalam pidatonya ketika menerima hadiah Nobel,
Yunus melalui Grameen Bank yang telah beroperasi sejak 1983, mengaku
telah berhasil memberikan pinjaman kepada hampir tujuh juta masyarakat
miskin yang tersebar di 73 ribu desa di Bangladesh dimana 97 persen
diantaranya adalah kaum perempuan.
Keberhasilan pelaksanaan program microfinance tersebut telah
menginspirasi banyak negara, khususnya di Asia, untuk menerapkan
kebijakan serupa guna mengentaskan kemiskinan melalui pemberdayaan
ekonomi perempuan. Dalam prakteknya di berbagai konteks, program ini
ternyata tidak serta merta menghapuskan persoalan-persoalan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan bagi perempuan. Berbagai studi tentang
microfinance menunjukkan adanya conflicting conclusions atas dampak
kebijakan tersebut terhadap perempuan. Pada intinya microfinance belum
dapat dikategorikan sebagai kebijakan pembangunan yang sepenuhnya
membawa perbaikan kondisi perempuan karena program tersebut belum mampu
mengintegrasikan pentingnya relasi gender antara perempuan dan laki-laki
di level rumah tangga yang mempengaruhi kesuksesan pelaksanaan program.
(Bersambung ke bagian 2..)
References:
Connell, R.W., “Masculinities and Globalization”, Men and Masculinities Vol.1 No.1, July 1998.
Dickson, Anna, “Development and International Relations: Theory and
History” dalam Anna Dickson (ed), Development and International
Relations, 1997, Cambridge: Polity.
Elson, Diane, “Male bias in Macro-economics: the Case of Structural
Adjustment”, dalam Diane Elson (ed), Male Bias in the Development Proces
2nd Edition, 1995, Manchester: Manchester University Press.
Elson, Diane dan Ruth Pearson, “The Subordination of Women and the
Internationalization of Factory Production”, dalam N. Visvanathan et al
(eds), The Women, Gender and Development Handbook, 1997, London and New
York: Zed Books.
Enloe, Cynthia “Bananas, Beaches, and Bases: Making Feminist Sense of
International Relations”, 1990, Berkeley: University of California
Press.
Enloe, Cynthia, “The Morning After Sexual Politics at the End of the Cold War”, 1994, Berkeley: University of California Press.
Goetz, Anne Marie dan Rina Sen Gupta, “Who Takes the Credit? Gender,
Power, and Control over Loan use in Rural Credit Programs in
Bangladesh”, World Development 24/1 (1996): 45-63.
Hasyemi, Syed M., Sidney Ruth Schuler dan Ann P. Riley, “Rural Credit
Programs and Women’s Empowerment in Bangladesh”, World Development 24/4
(1996): 635-653.
Jackson, Robert dan Georg Sorensen, “Pengantar Studi Hubungan Internasional”, 2005, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kabeer, Naila, “Conflicts over Credit: Re-Evaluating the Empowerment
Potential of Loans to Women in Rural Bangladesh”, World Development 29/1
(2001): 63-84.
Schuler, Sidney Ruth, Syed M. Hashemi, Ann P. Riley dan Shireen
Akhter, “Credit Programs, Patriarchy and Men’s Violence Against Women in
Rural Bangladesh”, Social Science Medical 43/12 (1996): 1729-1742.
Standing, Guy, “Global Feminization through Flexible Labour: a Theme Revisited”, World Development 27 (1999): 58.
Steans, Jill, “Globalization and Gendered Inequality”, dalam David
Held dan Anthony McGrews (eds), The Global Tranformation Reader: an
Introduction to the Globalization Debate, Cambridge: Polity.
Swerdlow, Amy, “Motherhood and the Subversion of the Military State:
Women Strike for Peace Confronts the House Committee on Un-American
Activities” dalam J.B. Fishtain dan S. Tobjas (eds), Women, Militarism
and War: Essays in Politics, History and Social Theory, 1990, Savage:
Rownian & Littkfield.
True, Jacqui, “Feminism” dalam Scott Burchill (eds), Theories of
International Relations 3rd Edition, 2005, New York: Palgrave Macmillan.
Yunus, Muhammad, “Nobel Lecture”, Oslo, 10 December 2006, http://nobelprize.org/nobel_prizes/peace/laureates/2006/yunus-lecture-en.html, diakses pada 19 October 2008.
JURNAL HUKUM UNDIP
Senin, 16 Desember 2013
Minggu, 15 September 2013
TUGAS LEMBAGA NEGARA INDONESIA
A. MPR
Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3
dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 adalah:
- mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
- melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
- memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar;
- memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya;
- memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
B. DPR
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya,
untuk optimalisasi lembaga perwakilan serta memperkukuh pelaksanaan saling
mengawasi dan saling mengimbangi oleh DPR, DPR memiliki fungsi yang diatur
secara eksplisit dalam UUD.
Pada Pasal 20A dipertegas fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi mempertegas kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran mempertegas kedudukan DPR untuk membahas (termasuk mengubah) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat. Kedudukan DPR dalam hal APBN ini lebih menonjol dibandingkan dengan kedudukan Presiden karena apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu [Pasal 23 ayat (3)]. Fungsi pengawasan adalah fungsi DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan oleh Presiden (pemerintah).
Pada Pasal 20A dipertegas fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi mempertegas kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran mempertegas kedudukan DPR untuk membahas (termasuk mengubah) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat. Kedudukan DPR dalam hal APBN ini lebih menonjol dibandingkan dengan kedudukan Presiden karena apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu [Pasal 23 ayat (3)]. Fungsi pengawasan adalah fungsi DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan oleh Presiden (pemerintah).
Penegasan fungsi DPR dalam UUD
1945 itu akan sangat mendukung pelaksanaan tugas DPR sehingga DPR makin
berfungsi sesuai dengan harapan dan tuntutan rakyat Selanjutnya, dalam kerangka
checks and balances system dan penerapan negara hukum, dalam pelaksanaan tugas
DPR, setiap anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya. Dalam masa
jabatannya mungkin saja terjadi hal atau kejadian atau kondisi yang menyebabkan
anggota DPR dapat diberhentikan sebagai anggota DPR. Agar pemberhentian anggota
DPR tersebut mempunyai dasar hukum yang baku dan jelas, pemberhentian perlu
diatur dalam undang-undang. Ketentuan ini merupakan mekanisme control terhadap anggota
DPR. Adanya pengaturan pemberhentian anggota DPR dalam masa jabatannya dalam
undang-undang akan menghindarkan adanya pertimbangan lain yang tidak
berdasarkan undang-undang. Ketentuan itu juga sekaligus menunjukkan konsistensi
dalam menerapkan paham supremasi hukum, yaitu bahwa setiap orang sama di depan
hukum, sehingga setiap warga negara harus tunduk pada hukum. Namun, dalam menegakkan
hukum itu harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum.
C. DPD
DPD memiliki fungsi yang terbatas
di bidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan pertimbangan. Fungsi DPD
berkaitan erat dengan sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Kewenangan legislatif yang dimiliki DPD adalah
dapat mengajukan kepada DPR dan ikut membahas rancangan undang-undang yang
terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan,
pemekaran, dan pengabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah. Selain itu, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Dalam bidang pengawasan, DPD
mengawasi pelaksanaan berbagai undang-undang yang ikut dibahas dan diberikan
pertimbangan oleh DPD. Namun, kewenangan pengawasan menjadi sangat terbatas
karena hasil pengawasan itu hanya untuk disampaikan kepada DPR guna bahan
pertimbangan dan ditindaklanjuti. Akan tetapi, pada sisi lain anggota DPD ini
memiliki kedudukan dan kewenangan yang sama dengan DPR ketika bersidang dalam
kedudukan sebagai anggota MPR, baik dalam perubahan UUD, pemberhentian
Presiden, maupun Wakil Presiden.
UUD NKRI Tahun 1945 menentukan
jumlah anggota DPD dari setiap provinsi adalah sama dan jumlah seluruh
anggotanya tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Penetapan jumlah
wakil daerah yang sama dari setiap provinsi pada keanggotaan DPD menunjukan
kesamaan status provinsi- provinsi itu sebagai bagian integral dari negara
Indonesia. Tidak membedakan provinsi yang banyak atau sedikit penduduknya
maupun yang besar atau yang kecil wilayahnya.
D.
Presiden
Perubahan UUD 1945 yang cukup
siknifikan dan mendasar bagi penyelenggaraan demokrasi yaitu pemilihan presiden
secara langsung. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh
rakyat melalui mekanisme pemilu. Pemilihan secara langsung presiden dan wakil
presiden akan memperkuat legitimasi seorang presiden sehingga presiden
diharapkan tidak mudah untuk diberhentikan di tengah jalan tanpa dasar memadai,
yang bisa mempengaruhi stabilitas politik dan pemerintahaan secara aktual.
Presiden merupakan lembaga negara
yang memegang kekuasaan dibidang eksekutif. Seiring dengan Perubahan UUD 1945,
saat ini kewenangan Presiden diteguhkan hanya sebatas pada bidang kekuasaan
dibidang pelaksanaan pemerintahan negara. Namun demikian, dalam UUD 1945 juga
diatur mengenai ketentuan bahwa Presiden juga menjalankan fungsi yang berkaitan
dengan bidang legislatif maupun bidang yudikatif.
Berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Dasar, Presiden haruslah warga negara Indonesia yang sejak
kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain. Perubahan
ketentuan mengenai persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden
dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tuntutan
zaman serta agar sesuai dengan perkembangan masyarakat yang makin demokratis,
egaliter, dan berdasarkan rule of law yang salah satu cirinya adalah pengakuan
kesederajatan di depan hukum bagi setiap warga negara. Hal ini juga konsisten
dengan paham kebangsaan Indonesia yang berdasarkan kebersamaan dengan tidak
membedakan warga negara atas dasar keturunan, ras, dan agama. Kecuali itu,
dalam perubahan ini juga terkandung kemauan politik untuk lebih memantapkan
ikatan kebangsaan Indonesia.
Selanjutnya, sebagai perwujudan
negara hukum dan checks and balances system, dalam UUD diatur mengenai
ketentuan tentang periode masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden serta adanya
ketentuan tentang tata cara pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden dalam
masa jabatannya. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa jabatan Presiden dapat
dikontrol oleh lembaga negara lainnya, dengan demikian akan terhindar dari
kesewenang-wenangan dalam penyelenggaraan tugas kenegaraan.
Berkaitan dengan pelaksanaan
prinsip checks and balances system serta hubungan kewenangan antara Presiden
dengan lembaga negara lainnya, antara lain mengenai pemberian grasi, amnesti,
abolisi, dan rehabilitasi yang semula menjadi hak prerogatif Presiden sebagai
kepala negara, saat ini dalam menggunakan kewenangannya tersebut harus dengan
memperhatikan pertimbangan lembaga negara lain yang memegang kekuasaan sesuai
dengan wewenangnya. MahkamahAgung memberikan pertimbangan dalam hal pemberian
grasi dan rehabilitasi dari pelaksana fungsi yudikatif. DPR memberikan
pertimbangan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi karena didasarkan pada
pertimbangan politik. Oleh karena itu DPR sebagai lembaga perwakilan/lembaga
politik kenegaraan adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan
kepada Presiden mengenai hal itu.
Adanya pertimbangan MA dan DPR
(lembaga di bidang yudikatif dan legislatif) juga dimaksudkan agar terjalin
saling mengawasi dan saling mengimbangi antara Presiden dan kedua lembaga
negara tersebut dalam hal pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan.
E. Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, dan Komisi Yudisial
Kekuasaan kehakiman dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia bertujuan untuk menyelenggarakan peradilan yang
merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan
keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan
peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi. Perubahan ketentuan mengenai
kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tugas
kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah untuk
menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun,
guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini merupakan perwujudan prinsip
Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3).
Dalam UUD 1945 Pasal 24 ayat (3)
dikatakan bahwa “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan
kehakiman diatur dalam undang-undang”. Ketentuan tersebut menjadi dasar hukum
keberadaan berbagai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman,
antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut.
Pengaturan dalam undang-undang mengenai badan lain
yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman membuka partisipasi rakyat melalui
wakil- wakilnya di DPR untuk memperjuangkan agar aspirasi dan kepentingannya
diakomodasi dalam pembentukan undang-undang tersebut.
Adanya ketentuan pengaturan dalam
undang-undang tersebut merupakan salah satu wujud saling mengawasi dan saling
mengimbangi antara kekuasaan yudikatif MA dan badan peradilan di bawahnya serta
MK dengan kekuasaan legislatif DPR dan dengan kekuasaan eksekutif lembaga
penyidik dan lembaga penuntut. Selain itu, ketentuan itu dimaksudkan untuk
mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated judiciary system) di Indonesia.
Pencantuman Pasal 24 ayat (3) di
atas juga untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi pada masa yang akan
datang, misalnya, kalau ada perkembangan badan-badan peradilan lain yang tidak
termasuk dalam kategori keempat lingkungan peradilan yang sudah ada itu diatur
dalam undang-undang.
1. MahkamahAgung
Perubahan ketentuan yang mengatur
tentang tugas dan wewenang Mahkamah Agung dalam Undang-Undang Dasar dilakukan
atas pertimbangan untuk memberikan jaminan konstitusional yang lebih kuat
terhadap kewenangan dan kinerja MA. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1),
MA mempunyai wewenang: 1) mengadili pada tingkat kasasi;
2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
3) wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
3) wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
2. Mahkamah
Konstitusi
Perubahan UUD 1945 juga
melahirkan sebuah lembaga negara baru di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu
Mahkamah Konstitusi dengan wewenang sebagai berikut:
1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
3) Memutus pembubaran partai politik.
4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
Lembaga ini merupakan bagian
kekuasaan kehakiman yang mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan
konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan kewenangannya
sebagaimana yang ditentukan dalam UUD 1945. Pembentukan Mahkamah Konstitusi
adalah sejalan dengan dianutnya paham negara hukum dalam UUD
1945. Dalam negara hukum harus dijaga paham konstitusional.Artinya, tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Hal itu sesuai dengan penegasan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai puncak dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 membutuhkan sebuah mahkamah dalam rangka menjaga prinsip konstitusionalitas hukum.
1945. Dalam negara hukum harus dijaga paham konstitusional.Artinya, tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Hal itu sesuai dengan penegasan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai puncak dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 membutuhkan sebuah mahkamah dalam rangka menjaga prinsip konstitusionalitas hukum.
3. KomisiYudisial
Untuk menjaga dan meningkatkan
integritas hakim agung, dalam Undang-Undang Dasar dibentuk lembaga baru yaitu
Komisi Yudisial. Melalui lembaga Komisi Yudusial ini, diharapkan dapat
diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat
diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan yang diputus oleh hakim yang
terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.
Wewenang Komisi Yudisial menurut
ketentuan UUD adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai
wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta perilaku hakim. Dalam proses rekrutmen hakim agung, calon hakim
agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan untuk
selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Pasal 24B UUD menyebutkan Komisi
Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim.
Dengan demikian, Komisi Yudisial memiliki dua kewenangan, yaitu mengusulkan
pengangkatan calon hakim agung di Mahkamah Agung dan menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat serta menjaga martabat serta menjaga prilaku hakim di
Mahkamah Konstitusi.
Anggota Komisi Yudisial berdasarkan
ketentuan undang-undang berjumlah 7 (tujuh) orang dan berstatus sebagai pejabat
negara yang terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan
anggota masyarakat. Keanggotaan komisi Yudisial diajukan Presiden kepada DPR,
dengan terlebih dahulu Presiden membantu panitia seleksi yang terdiri dari
unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.
Komisi ini dibentuk sebagi respon
tehadap upaya penegakan dan reformasi di institusi peradilan, yang selama ini
dianggap kurang memuaskan. Selain itu, untuk meminimalisasi interes politik
dari anggota DPR di dalam memilih dan menentukan hakim agung di Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung adalah institusi peradilan yang independen dan seharusnya
terlepas dari campur tangan, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan. Komisi
Yudisial juga dibentuk untuk memberikan pengawasan terhadap perilaku hakim.
Pengawasan dilakukan secara internal peradilan terhadap para hakim yang apabila
terbukti kurang efektif dapat dilakukan penindakan secara tegas terhadap hakim
yang melakukan pelanggaran.
F. Badan Pemeriksa Keuangan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan dalam bidang auditor.
Pengaturan tugas dan wewenang BPK dalam Undang-Undang Dasar dimaksudkan untuk memberikan
dasar hukum yang kuat serta pengaturan rinci mengenai BPK yang bebas dan
mandiri serta sebagai lembaga negara yang berfungsi memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. Dalam rangka memperkuat kedudukan, kewenangan,
dan independensinya sebagai lembaga negara, anggotanya dipilih oleh DPR dengan
memperhatikan pertimbangan DPD.
Dalam kedudukannya sebagai
eksternal auditor pemerintah yang memeriksa keuangan negara dan APBD, serta
untuk dapat menjangkau pemeriksaan di daerah, BPK membuka kantor perwakilan di
setiap provinsi. BPK mempunyai tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab
tentang keuangan negara. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada
DPR, dan DPRD sesuai dengan kewenangan. Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti
lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang- undang.
Mengingat BPK sebagai lembaga
negara dalam bidang auditor, untuk optimalisasi dan independensi dalam
melaksanakan tugasnya, anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. BPK berkedudukan di ibu kota
negara dan memiliki perwakilan disetiap provinsi. Terkait dengan pemeriksaan
keuangan negara, BPK ditegaskan juga berwenang memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab tentang keuangan negara [Pasal 23E ayat (1)] serta menyerahkan
hasil pemeriksaan keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan
kewenangannya [Pasal 23 E ayat (2)].
Langganan:
Postingan (Atom)