Senin, 16 Desember 2013

Isu Gender Dalam Dinamika Ekonomi

Tulisan ini akan mengidentifikasi dan membahas berbagai isu ekonomi politik internasional (international political economy) dan keamanan global (global security) serta isu-isu tradisional hubungan internasional seperti perang-damai dan konflik-kerjasama yang merefleksikan cara pandang hubungan internasional yang bias gender.

Sebagai suatu isu baru, gender pada awalnya tidak menjadi isu inti dalam studi hubungan internasional. Beberapa teoritisi hubungan internasional berargumen bahwa karena disiplin hubungan internasional muncul pada periode Perang Dunia pertama maka studi HI lebih menekankan pada isu perang dan damai sehingga ”melupakan” isu gender. Namun argumen tersebut seakan runtuh ketika studi-studi feminis hubungan internasional berhasil mengidentifikasi eksistensi berbagai gerakan perempuan pada masa itu yang secara signifikan mempengaruhi kebijakan luar negeri pemerintahnya.
Terkait dengan hal ini, dalam kajiannya tentang kemunculan gender sebagai isu baru dalam hubungan internasional, Jackson dan Sorensen berargumen bahwa studi hubungan internasional yang muncul dengan tujuan untuk memajukan kerjasama dan perdamaian internasional ternyata belum memberikan perhatian pada pergerakan perempuan bagi perdamaian dan kerjasama saat itu. Dalam buku tersebut, mereka mengambil contoh berbagai studi feminis hubungan internasional.
Studi oleh Amy Swerdlow misalnya berhasil menguak bahwa demonstrasi para wanita di Amerika Serikat pada tahun 1960an sedikit banyak berkontribusi dalam mempengaruhi kebijakan Presiden Kennedy dalam perjanjian pengendalian senjata nuklir dengan Uni Soviet. Selain itu, Cynthia Enloe juga melihat bahwa penarikan dukungan ibu-ibu bangsa Rusia untuk tentara Soviet pada perang Afganistan telah membantu mengakhiri Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Oleh karena itu para feminis hubungan internasional berargumen bahwa perang-perdamaian dan konflik-kerjasama sesungguhnya adalah aktivitas gender (gendered activity).
Minimnya perhatian terhadap perspektif gender dalam memahami hubungan internasional juga terjadi karena para teoritisi hubungan internasional tidak hirau terhadap isu-isu pembangunan. Menurut Anna Dickson di dalam sebuah tulisannya tentang relasi antara pembangunan dan hubungan internasional, hal ini disebabkan karena mereka menganggap pembangunan sebagai isu domestik dan termasuk kategori low politics.
Selain itu, hubungan internasional saat itu bukanlah ilmu yang hirau dengan normative questions yaitu pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan standar moral, sehingga isu-isu keadilan internasional, distribusi sumber daya antar negara dan persoalan kemiskinan dunia tidak menjadi perhatian. Akibatnya, perspektif gender kerap dilupakan dalam melihat persoalan pembangunan, khususnya terkait dengan aktivitas ekonomi politik internasional yang juga merupakan aktivitas gender. Padahal menurut Enloe, perdagangan internasional dan pasar global sebagai salah satu bentuk aktivitas hubungan internasional secara inheren telah menjadi arena bagi gender formation dan gender politics.
Senada dengan Enloe, Connell juga mengakui adanya sebuah ”world gender order” dalam hubungan internasional yang berakar pada tradisi budaya Eropa-Amerika, yaitu struktur relasi yang ”interconnect the gender regimes of institution and the gender orders of local society on a world scale.” Kedua pendapat tersebut menunjukkan bahwa hubungan internasional telah menjadi ajang pertarungan bagi penciptaan suatu aturan gender yang homogen baik di level institusi maupun masyarakat. Akibatnya, aturan main dalam sistem ekonomi dan politik internasional yang dimanifestasikan dalam kebijakan pembangunan seringkali tidak memperhatikan kondisi dan kebutuhan perempuan.
Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya dorongan arus globalisasi yang tidak jarang menimbulkan ekploitasi terhadap perempuan sehingga posisi perempuan semakin termarginalisasi. Perempuan lebih banyak menderita kerugian daripada memperoleh keuntungan dari proses tersebut. Dengan kata lain, perempuan dan relasinya dengan laki-laki menerima implikasi yang luar biasa dari kebijakan pembangunan sebagai bagian dari sistem ekonomi dan politik internasional.
Implikasi gender dari kebijakan ekonomi pembangunan yang bersifat transnasional dan globalisasi terlihat dalam beberapa isu penting dalam hubungan internasional. Penerapan kebijakan restrukturisasi ekonomi global sebagai bentuk baru neoliberalisme merupakan salah satu isu hubungan internasional yang memiliki implikasi sosial ekonomi yang serius bagi kalangan perempuan.
Restrukturisasi ekonomi global yang dimulai sejak tahun 1970an menyebabkan feminisasi tenaga kerja dimana komposisi tenaga kerja didominasi oleh perempuan. Kondisi ini terlihat dalam studi yang dilakukan oleh Guy Standing bahwa selama rentang waktu 20 tahun (1975-1995) telah terjadi peningkatan partisipasi tenaga kerja perempuan sebanyak 65 persen di banyak negara industri maju dan 51 persen di negara-negara berkembang. Hal ini terjadi karena kebijakan restrukturisasi, misalnya yang terjadi pada tahun 1973 akibat krisis minyak, menuntut banyak perusahaan untuk mensubkontrakkan aktivitas produksinya ke berbagai negara. Akibatnya sejumlah perusahaan transnasional memindahkan proses produksinya yang berbasis pada tenaga kerja ke negara-negara berkembang yang menyediakan banyak buruh perempuan.
Feminisasi tenaga kerja oleh berbagai perusahaan industri batubara dan baja ini terjadi karena melimpahnya jumlah buruh perempuan dan mereka bersedia untuk dibayar murah. Selain itu, mempekerjakan buruh perempuan dianggap lebih aman daripada buruh laki-laki. Hal ini dikarenakan dalam konteks tahun 1970an buruh perempuan juga cenderung memiliki potensi radikalisme yang rendah dibandingkan buruh laki-laki.
Fenomena feminisasi tenaga kerja akibat restrukturisasi ekonomi masih terjadi pada era 1980-1990an meski dengan karakteristik yang sedikit berbeda. Pesatnya perkembangan industri teknologi dan informasi pada periode tersebut telah mendorong banyak perusahaan untuk berinvestasi di bidang ini, diantaranya pada industri elektronika, garmen, mainan anak-anak dan makanan. Akibatnya, perusahaan kembali membutuhkan buruh perempuan sebagai tenaga kerja di industri ini.
Selain karena alasan yang sama yaitu rendahnya upah mereka, perusahaan memilih buruh perempuan karena mereka dianggap memiliki ”natural dexterity” dan ”nimble fingers” yang sangat dibutuhkan untuk tipe pekerjaan di bidang tersebut. Kedua istilah tersebut mengacu pada kemampuan ketrampilan bekerja perempuan, misal pekerjaan yang sifatnya repetitif, yang diperoleh dalam keluarga dan dianggap sebagai suatu hal yang alami. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa terdapat kaitan erat antara kebijakan restrukturisasi ekonomi global dengan persoalan pemenuhan hak-hak perempuan buruh migran di negara-negara berkembang.
Selain mengalami persoalan upah buruh yang rendah, pada tahun 1980-an banyak negara di Asia, Afrika dan Amerika Latin masih terbelit oleh masalah ekonomi makro seperti defisitnya neraca pembayaran, tingginya tingkat inflasi dan rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Berbagai persoalan tersebut pada akhirnya menghadapkan mereka pada ketiadaan pilihan kebijakan selain meminta bantuan keuangan (financial aid) dari lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Padahal kebijakan kedua lembaga tersebut seringkali, menurut Diane Elson, tidak memperhatikan sensitivitas gender dan mengarah pada male bias. Kebijakan stabilisasi dan structural adjustment yang diformulasikan dengan dasar analisis ekonomi makro, misalnya, lebih melihat ekonomi secara umum dan tidak mencermati kondisi ekonomi di tingkat individu atau rumah tangga.
Sebuah studi UNDP tentang dimensi sosial kebijakan structural adjustment di negara-negara Afrika sub-Sahara mengungkap bahwa kebijakan tersebut mengarah pada terciptanya ketidakseimbangan distribusi beban antara laki-laki dan perempuan yang akhirnya dapat menghambat proses pembangunan yang berkelanjutan. Jacqui True juga menemukan bahwa kebijakan structural adjustment di negara-negara Selatan dan kebijakan restrukturisasi di negara-negara Utara yang didorong oleh globalisasi ekonomi telah mengakibatkan feminisasi kemiskinan, yaitu profil kemiskinan yang melanda sebagian besar perempuan.
Fakta akan meluasnya kemiskinan dan keterpurukan ekonomi di kalangan masyarakat, khususnya perempuan, di sisi lain telah mendorong munculnya berbagai kebijakan ekonomi yang hirau pada pemberdayaan ekonomi masyarakat. Salah satunya contohnya adalah kebijakan pemberian kredit usaha kecil (microfinance atau microcredit) tanpa syarat kepada kelompok masyarakat di Bangladesh yang digagas oleh Mohammad Yunus. Ide yang telah berhasil menghantarkan Yunus memperoleh hadiah Nobel pada tahun 2006 tersebut berawal dari keprihatinannya akan kemiskinan yang terjadi di masyarakat sekitarnya. Dalam pidatonya ketika menerima hadiah Nobel, Yunus melalui Grameen Bank yang telah beroperasi sejak 1983, mengaku telah berhasil memberikan pinjaman kepada hampir tujuh juta masyarakat miskin yang tersebar di 73 ribu desa di Bangladesh dimana 97 persen diantaranya adalah kaum perempuan.
Keberhasilan pelaksanaan program microfinance tersebut telah menginspirasi banyak negara, khususnya di Asia, untuk menerapkan kebijakan serupa guna mengentaskan kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi perempuan. Dalam prakteknya di berbagai konteks, program ini ternyata tidak serta merta menghapuskan persoalan-persoalan ketidaksetaraan dan ketidakadilan bagi perempuan. Berbagai studi tentang microfinance menunjukkan adanya conflicting conclusions atas dampak kebijakan tersebut terhadap perempuan. Pada intinya microfinance belum dapat dikategorikan sebagai kebijakan pembangunan yang sepenuhnya membawa perbaikan kondisi perempuan karena program tersebut belum mampu mengintegrasikan pentingnya relasi gender antara perempuan dan laki-laki di level rumah tangga yang mempengaruhi kesuksesan pelaksanaan program. (Bersambung ke bagian 2..)
References:
Connell, R.W., “Masculinities and Globalization”, Men and Masculinities Vol.1 No.1, July 1998.
Dickson, Anna, “Development and International Relations: Theory and History” dalam Anna Dickson (ed), Development and International Relations, 1997, Cambridge: Polity.
Elson, Diane, “Male bias in Macro-economics: the Case of Structural Adjustment”, dalam Diane Elson (ed), Male Bias in the Development Proces 2nd Edition, 1995, Manchester: Manchester University Press.
Elson, Diane dan Ruth Pearson, “The Subordination of Women and the Internationalization of Factory Production”, dalam N. Visvanathan et al (eds), The Women, Gender and Development Handbook, 1997, London and New York: Zed Books.
Enloe, Cynthia “Bananas, Beaches, and Bases: Making Feminist Sense of International Relations”, 1990, Berkeley: University of California Press.
Enloe, Cynthia, “The Morning After Sexual Politics at the End of the Cold War”, 1994, Berkeley: University of California Press.
Goetz, Anne Marie dan Rina Sen Gupta, “Who Takes the Credit? Gender, Power, and Control over Loan use in Rural Credit Programs in Bangladesh”, World Development 24/1 (1996): 45-63.
Hasyemi, Syed M., Sidney Ruth Schuler dan Ann P. Riley, “Rural Credit Programs and Women’s Empowerment in Bangladesh”, World Development 24/4 (1996): 635-653.
Jackson, Robert dan Georg Sorensen, “Pengantar Studi Hubungan Internasional”, 2005, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kabeer, Naila, “Conflicts over Credit: Re-Evaluating the Empowerment Potential of Loans to Women in Rural Bangladesh”, World Development 29/1 (2001): 63-84.
Schuler, Sidney Ruth, Syed M. Hashemi, Ann P. Riley dan Shireen Akhter, “Credit Programs, Patriarchy and Men’s Violence Against Women in Rural Bangladesh”, Social Science Medical 43/12 (1996): 1729-1742.
Standing, Guy, “Global Feminization through Flexible Labour: a Theme Revisited”, World Development 27 (1999): 58.
Steans, Jill, “Globalization and Gendered Inequality”, dalam David Held dan Anthony McGrews (eds), The Global Tranformation Reader: an Introduction to the Globalization Debate, Cambridge: Polity.
Swerdlow, Amy, “Motherhood and the Subversion of the Military State: Women Strike for Peace Confronts the House Committee on Un-American Activities” dalam J.B. Fishtain dan S. Tobjas (eds), Women, Militarism and War: Essays in Politics, History and Social Theory, 1990, Savage: Rownian & Littkfield.
True, Jacqui, “Feminism” dalam Scott Burchill (eds), Theories of International Relations 3rd Edition, 2005, New York: Palgrave Macmillan.
Yunus, Muhammad, “Nobel Lecture”, Oslo, 10 December 2006, http://nobelprize.org/nobel_prizes/peace/laureates/2006/yunus-lecture-en.html, diakses pada 19 October 2008.

Minggu, 15 September 2013

TUGAS LEMBAGA NEGARA INDONESIA



A. MPR
Wewenang MPR berdasarkan Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945 adalah:
  1. mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
  2. melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden;
  3. memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar;
  4. memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya;
  5. memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari dua pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan calon Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
B. DPR
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, untuk optimalisasi lembaga perwakilan serta memperkukuh pelaksanaan saling mengawasi dan saling mengimbangi oleh DPR, DPR memiliki fungsi yang diatur secara eksplisit dalam UUD.
Pada Pasal 20A dipertegas fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi mempertegas kedudukan DPR sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi anggaran mempertegas kedudukan DPR untuk membahas (termasuk mengubah) Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat. Kedudukan DPR dalam hal APBN ini lebih menonjol dibandingkan dengan kedudukan Presiden karena apabila DPR tidak menyetujui RAPBN yang diusulkan Presiden, Pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu [Pasal 23 ayat (3)]. Fungsi pengawasan adalah fungsi DPR dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan oleh Presiden (pemerintah).
Penegasan fungsi DPR dalam UUD 1945 itu akan sangat mendukung pelaksanaan tugas DPR sehingga DPR makin berfungsi sesuai dengan harapan dan tuntutan rakyat Selanjutnya, dalam kerangka checks and balances system dan penerapan negara hukum, dalam pelaksanaan tugas DPR, setiap anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya. Dalam masa jabatannya mungkin saja terjadi hal atau kejadian atau kondisi yang menyebabkan anggota DPR dapat diberhentikan sebagai anggota DPR. Agar pemberhentian anggota DPR tersebut mempunyai dasar hukum yang baku dan jelas, pemberhentian perlu diatur dalam undang-undang. Ketentuan ini merupakan mekanisme control terhadap anggota DPR. Adanya pengaturan pemberhentian anggota DPR dalam masa jabatannya dalam undang-undang akan menghindarkan adanya pertimbangan lain yang tidak berdasarkan undang-undang. Ketentuan itu juga sekaligus menunjukkan konsistensi dalam menerapkan paham supremasi hukum, yaitu bahwa setiap orang sama di depan hukum, sehingga setiap warga negara harus tunduk pada hukum. Namun, dalam menegakkan hukum itu harus dilakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum.
C. DPD
DPD memiliki fungsi yang terbatas di bidang legislasi, anggaran, pengawasan, dan pertimbangan. Fungsi DPD berkaitan erat dengan sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kewenangan legislatif yang dimiliki DPD adalah dapat mengajukan kepada DPR dan ikut membahas rancangan undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan, pemekaran, dan pengabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selain itu, DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
Dalam bidang pengawasan, DPD mengawasi pelaksanaan berbagai undang-undang yang ikut dibahas dan diberikan pertimbangan oleh DPD. Namun, kewenangan pengawasan menjadi sangat terbatas karena hasil pengawasan itu hanya untuk disampaikan kepada DPR guna bahan pertimbangan dan ditindaklanjuti. Akan tetapi, pada sisi lain anggota DPD ini memiliki kedudukan dan kewenangan yang sama dengan DPR ketika bersidang dalam kedudukan sebagai anggota MPR, baik dalam perubahan UUD, pemberhentian Presiden, maupun Wakil Presiden.
UUD NKRI Tahun 1945 menentukan jumlah anggota DPD dari setiap provinsi adalah sama dan jumlah seluruh anggotanya tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Penetapan jumlah wakil daerah yang sama dari setiap provinsi pada keanggotaan DPD menunjukan kesamaan status provinsi- provinsi itu sebagai bagian integral dari negara Indonesia. Tidak membedakan provinsi yang banyak atau sedikit penduduknya maupun yang besar atau yang kecil wilayahnya.
D. Presiden
Perubahan UUD 1945 yang cukup siknifikan dan mendasar bagi penyelenggaraan demokrasi yaitu pemilihan presiden secara langsung. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilu. Pemilihan secara langsung presiden dan wakil presiden akan memperkuat legitimasi seorang presiden sehingga presiden diharapkan tidak mudah untuk diberhentikan di tengah jalan tanpa dasar memadai, yang bisa mempengaruhi stabilitas politik dan pemerintahaan secara aktual.
Presiden merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan dibidang eksekutif. Seiring dengan Perubahan UUD 1945, saat ini kewenangan Presiden diteguhkan hanya sebatas pada bidang kekuasaan dibidang pelaksanaan pemerintahan negara. Namun demikian, dalam UUD 1945 juga diatur mengenai ketentuan bahwa Presiden juga menjalankan fungsi yang berkaitan dengan bidang legislatif maupun bidang yudikatif.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar, Presiden haruslah warga negara Indonesia yang sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain. Perubahan ketentuan mengenai persyaratan calon Presiden dan calon Wakil Presiden dimaksudkan untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tuntutan zaman serta agar sesuai dengan perkembangan masyarakat yang makin demokratis, egaliter, dan berdasarkan rule of law yang salah satu cirinya adalah pengakuan kesederajatan di depan hukum bagi setiap warga negara. Hal ini juga konsisten dengan paham kebangsaan Indonesia yang berdasarkan kebersamaan dengan tidak membedakan warga negara atas dasar keturunan, ras, dan agama. Kecuali itu, dalam perubahan ini juga terkandung kemauan politik untuk lebih memantapkan ikatan kebangsaan Indonesia.
Selanjutnya, sebagai perwujudan negara hukum dan checks and balances system, dalam UUD diatur mengenai ketentuan tentang periode masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden serta adanya ketentuan tentang tata cara pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya. Ketentuan tersebut menunjukan bahwa jabatan Presiden dapat dikontrol oleh lembaga negara lainnya, dengan demikian akan terhindar dari kesewenang-wenangan dalam penyelenggaraan tugas kenegaraan.
Berkaitan dengan pelaksanaan prinsip checks and balances system serta hubungan kewenangan antara Presiden dengan lembaga negara lainnya, antara lain mengenai pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi yang semula menjadi hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara, saat ini dalam menggunakan kewenangannya tersebut harus dengan memperhatikan pertimbangan lembaga negara lain yang memegang kekuasaan sesuai dengan wewenangnya. MahkamahAgung memberikan pertimbangan dalam hal pemberian grasi dan rehabilitasi dari pelaksana fungsi yudikatif. DPR memberikan pertimbangan dalam hal pemberian amnesti dan abolisi karena didasarkan pada pertimbangan politik. Oleh karena itu DPR sebagai lembaga perwakilan/lembaga politik kenegaraan adalah lembaga negara paling tepat memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai hal itu.
Adanya pertimbangan MA dan DPR (lembaga di bidang yudikatif dan legislatif) juga dimaksudkan agar terjalin saling mengawasi dan saling mengimbangi antara Presiden dan kedua lembaga negara tersebut dalam hal pelaksanaan tugas-tugas kenegaraan.
E. Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial
Kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bertujuan untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi. Perubahan ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tugas kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini merupakan perwujudan prinsip Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3).
Dalam UUD 1945 Pasal 24 ayat (3) dikatakan bahwa “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”. Ketentuan tersebut menjadi dasar hukum keberadaan berbagai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, antara lain lembaga penyidik dan lembaga penuntut.
Pengaturan dalam undang-undang mengenai badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman membuka partisipasi rakyat melalui wakil- wakilnya di DPR untuk memperjuangkan agar aspirasi dan kepentingannya diakomodasi dalam pembentukan undang-undang tersebut.
Adanya ketentuan pengaturan dalam undang-undang tersebut merupakan salah satu wujud saling mengawasi dan saling mengimbangi antara kekuasaan yudikatif MA dan badan peradilan di bawahnya serta MK dengan kekuasaan legislatif DPR dan dengan kekuasaan eksekutif lembaga penyidik dan lembaga penuntut. Selain itu, ketentuan itu dimaksudkan untuk mewujudkan sistem peradilan terpadu (integrated judiciary system) di Indonesia.
Pencantuman Pasal 24 ayat (3) di atas juga untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi pada masa yang akan datang, misalnya, kalau ada perkembangan badan-badan peradilan lain yang tidak termasuk dalam kategori keempat lingkungan peradilan yang sudah ada itu diatur dalam undang-undang.
1.      MahkamahAgung
Perubahan ketentuan yang mengatur tentang tugas dan wewenang Mahkamah Agung dalam Undang-Undang Dasar dilakukan atas pertimbangan untuk memberikan jaminan konstitusional yang lebih kuat terhadap kewenangan dan kinerja MA. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24A ayat (1), MA mempunyai wewenang: 1) mengadili pada tingkat kasasi;
2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
3) wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
2.      Mahkamah Konstitusi
Perubahan UUD 1945 juga melahirkan sebuah lembaga negara baru di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi dengan wewenang sebagai berikut:
1) menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
3) Memutus pembubaran partai politik.
4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Lembaga ini merupakan bagian kekuasaan kehakiman yang mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan kewenangannya sebagaimana yang ditentukan dalam UUD 1945. Pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah sejalan dengan dianutnya paham negara hukum dalam UUD
1945. Dalam negara hukum harus dijaga paham konstitusional.Artinya, tidak boleh ada undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Hal itu sesuai dengan penegasan bahwa Undang-Undang Dasar sebagai puncak dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 membutuhkan sebuah mahkamah dalam rangka menjaga prinsip konstitusionalitas hukum.
3.      KomisiYudisial
Untuk menjaga dan meningkatkan integritas hakim agung, dalam Undang-Undang Dasar dibentuk lembaga baru yaitu Komisi Yudisial. Melalui lembaga Komisi Yudusial ini, diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan yang diputus oleh hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya.
Wewenang Komisi Yudisial menurut ketentuan UUD adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam proses rekrutmen hakim agung, calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapat persetujuan dan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Pasal 24B UUD menyebutkan Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku hakim. Dengan demikian, Komisi Yudisial memiliki dua kewenangan, yaitu mengusulkan pengangkatan calon hakim agung di Mahkamah Agung dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga martabat serta menjaga prilaku hakim di Mahkamah Konstitusi.
Anggota Komisi Yudisial berdasarkan ketentuan undang-undang berjumlah 7 (tujuh) orang dan berstatus sebagai pejabat negara yang terdiri atas mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat. Keanggotaan komisi Yudisial diajukan Presiden kepada DPR, dengan terlebih dahulu Presiden membantu panitia seleksi yang terdiri dari unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat.
Komisi ini dibentuk sebagi respon tehadap upaya penegakan dan reformasi di institusi peradilan, yang selama ini dianggap kurang memuaskan. Selain itu, untuk meminimalisasi interes politik dari anggota DPR di dalam memilih dan menentukan hakim agung di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung adalah institusi peradilan yang independen dan seharusnya terlepas dari campur tangan, objektif, dan dapat dipertanggungjawabkan. Komisi Yudisial juga dibentuk untuk memberikan pengawasan terhadap perilaku hakim. Pengawasan dilakukan secara internal peradilan terhadap para hakim yang apabila terbukti kurang efektif dapat dilakukan penindakan secara tegas terhadap hakim yang melakukan pelanggaran.

F. Badan Pemeriksa Keuangan
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan dalam bidang auditor. Pengaturan tugas dan wewenang BPK dalam Undang-Undang Dasar dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum yang kuat serta pengaturan rinci mengenai BPK yang bebas dan mandiri serta sebagai lembaga negara yang berfungsi memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam rangka memperkuat kedudukan, kewenangan, dan independensinya sebagai lembaga negara, anggotanya dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Dalam kedudukannya sebagai eksternal auditor pemerintah yang memeriksa keuangan negara dan APBD, serta untuk dapat menjangkau pemeriksaan di daerah, BPK membuka kantor perwakilan di setiap provinsi. BPK mempunyai tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, dan DPRD sesuai dengan kewenangan. Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang- undang.
Mengingat BPK sebagai lembaga negara dalam bidang auditor, untuk optimalisasi dan independensi dalam melaksanakan tugasnya, anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. BPK berkedudukan di ibu kota negara dan memiliki perwakilan disetiap provinsi. Terkait dengan pemeriksaan keuangan negara, BPK ditegaskan juga berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara [Pasal 23E ayat (1)] serta menyerahkan hasil pemeriksaan keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya [Pasal 23 E ayat (2)].